Puteri Perdamaian Dan Panglima Perang Penyelamat Kerajaan Panai
Obrolan Dua Puteri Kerajaan Panai Ngobrol Tentang
Obrolan Dua Puteri Kerajaan Panai Ngobrol Tentang
Nai Mandugu Porang atau Rumondang Harahap (Nai/Puteri Sambilan Jogi)
Puteri Perdamaian Dan Panglima Perang Penyelamat Kerajaan Panai
(Cerita 1/ Bersambung)
Penulis : Dua Puteri Kerajaan Panai (Padang Lawas)
Hari ini hari yang cerah sekali walaupun sedikit panas saat Namora/ Inanta Soripada Sutan Soduguron Hasibuan ikut bersama suaminya menjemput dua puterinya disekolah karena akan berlibur ke luar kota sambil mengurusi pekerjaan yang dilakukan suaminya dengan temannya.
Sutan Soduguron Hasibuan : Kita akan menginap di Hotel selama 3 hari 3 malam semoga anak-anak senang dengan liburan ini.
Namora/ Inanta Soripada Sutan Soduguron Hasibuan : Baiklah, Insha Allah, mereka akan senang dengan liburan ini. Mereka bisa jalan-jalan menikmati suasana tempat yang belum pernah mereka datangi ya ayah ni daganak jawab Namora/ Inanta Soripada Sutan Soduguron Hasibuan pada suaminya.
Tibalah mereka disekolah puteri bungsu mereka yang masih sekolah dasar yang jarak umurnya dengan puteri sulung mereka hampir 5 tahun lamanya. Namora/ Inanta Soripada Sutan Sodoguron Hasibuan turun dari mobilnya dan masuk kehalaman sekolah untuk mencari puteri bungsunya tersebut. Tak lama berselang iapun melihat puterinya dan memanggilnya untuk ikut bersamanya. Puteri bungsunya pun tersenyum dan memanggil mamanya saat melihat mamanya sudah datang untuk menjemputnya lalu berlari untuk memeluk dan mencium mamanya kemudian sembari mengikuti langkah mamanya yang menggandeng tangannya beranjak meninggalkan sekolah menuju tempat mobil mereka diparkir.
Sesampai di dalam mobil, puterinya pun menyapa orang tuanya, Assalamualaikum papa, dan Sutan Soduguron Hasibuan pun menjawab salam puterinya tersebut dengan ucapan Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh sayang. Mereka pun bergegas menuju sekolah puteri sulung mereka sampai akhirnya puteri sulungnya juga sudah berada di mobil yang mereka kendarai menuju rumah mereka. Puteri sulungnya bercerita tentang apa yang dia pelajari di sekolah tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia dan bertanya pada orang tuanya. Mama, papa pada zaman kerajaan ada beberapa kisah para puteri Raja ikut berperang melawan musuh-musuh kerajaan dan penjajah yang ingin merebut wilayah kekuasaan kerajaan mereka. Bagaimana dengan Kerajaan Panai ?
Namora/ Inanta Soripada Sutan Soduguron Hasibuan segera menjawab pertanyaan puteri sulungnya tersebut sambil mengingat pembicaraan dirinya dengan adiknya Ratu Dangsina Nai Huala Boru Harahap tentang Nai Mandugu Porang Harahap/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) yang dikenal sebagai Puteri yang sangat luar biasa kecantikannya dan juga Puteri Perdamaian dan Pemimpin/ Panglima Perang Penyelamat Kerajaan Panai. Ibarat air yang mengalir iapun menceritakan bagaimana kisah Nai Mandugu Porang (Puteri Sambilan Jogi) yang dikenal sebagai Puteri yang sangat luar biasa kecantikannya dan juga Puteri Perdamaian Dan Pemimpin/ Panglima Perang Penyelamat Kerajaan Panai karena sebelumnya ia meminta adiknya menceritakan tentang puteri tersebut karena terkait dengan dirinya yang disebut menikah dengan suaminya disebut Mangulakki Pakkal.
1. Danau Tao di Batang Onang salah satu Danau di wilayah Kerajaan Panai
2. Danau Tasik di Batang Onang salah satu Danau di wilayah Kerajaan Panai
Namora/ Inanta Soripada Sutan Soduguron Hasibuan : Mengapa disebut Puteri Sambilan Jogi, yang kakak pikirkan adalah apa maknanya bahwa kecantikannya sangat luar biasa. Apa maknanya dari bahasa apa, apa Puteri Tercantik maksudnya ya dek?
Ratu Dangsina Nai Huala Boru Harahap : Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) merupakan Puteri dari Oppu Raja Marguru Harahap. Puteri yang sangat luar biasa kecantikannya sehingga dikenal dengan sebutan Puteri Sambilan Jogi dari pihak Kerajaan dan masyarakat kerajaan Panai dan juga kerajaan lainnya. Karena kecantikan yang dimiliki Puteri Kerajaan Panai yang satu ini terkenal di lingkungan kerajaan lainnya pada saat itu. Sambilan Jogi mengandung makna bahasa aksara Batak Angkola yaitu sambilan jogi yang mengandung arti sekalian cantik atau sangat cantik. Bukan atau tidak diartikan angka sembilan (9), karena dalam bahasa aksara Batak Angkola dan Toba angka sembilan (9) adalah Sia. Sehingga tidak atau bukan disebut Puteri Sia Jogi karena bukan angka maksudnya kak.
Ibunya yang memulainya menyebut Sambilan Jogi maknanya Puteri Yang Sekalian Cantik. Nai Sambilan Jogi dalam Bahasa Batak Angkola itu Puteri Sekalian Cantik atau Puteri Tercantik. Sambilan dapat dimaknai sebenarnya/ sekalian, jadi maknanya Puteri Sebenarnya Cantik/ Puteri Sekalian Cantik, Puteri yang sangat cantik.
Namora/ Inanta Soripada Sutan Soduguron Hasibuan: Bagaimana kisah Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) dek dalam Kerajaan Panai atau kerajaan leluhur kita? Kakak senang sekali mengetahui bahwa Leluhur kita Raja Kerajaan Panai memberikan kesempatan bagi borunya untuk mengembangkan dirinya sehingga borunya dapat membantu kerajaan dalam keadaan darurat saat perang mampu memimpin pasukan perang dan menggantikan ayah dan ibotonya menjadi panglima perang. Artinya dalam Kerajaan Panai telah dilakukan konsep Gender Mainstreaming atau Pengarusutamaan Gender dalam Urusan Kerajaan Panai sehingga peran perempuan dalam kerajaan ada sehingga saat situasi perang dapat membantu Kerajaan Panai menjaga Kerajaan dari Serangan musuh Kerajaan Panai sebagaimana dilakukan oleh Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi). Kisah Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) sebagai Puteri Raja Kerajaan Panai membuktikan bahwa ada Pendekar Perempuan yang turut serta menjaga dan melindungi Kerajaan Panai dari serangan musuh-musuh kerajaan saat itu.
Ratu Dangsina Nai Huala Boru Harahap : Ya benar sekali kak.
Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) dari kecil diajar mandiri. Hobbynya senang ke hutan, melihat dan bermain ke sungai, menyenangi dan berteman dengan hewan peliharaan kerajaan. Seperti gajah, harimau. kuda, rusa, ursa, kambing hutan, kerbau hutan, musang, tupai, kucing hutan/ harimau akar, dan lainnya. Dia juga sering mengintip prajurit-prajurit kerajaan dan saudaranya latihan perang, dan dia mengikuti gerakannya secara diam-diam termasuk latihan bersilat. Walaupun Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) sering dimarahi orang tuanya serta kerabatnya karena hobbynya itu dan sedikit agak tomboy. Sang Puteri juga diajari menari dan kesenian serta kebudayaan suku Batak Angkola lainnya selayaknya puteri kerajaan. Dari lahir Nai Mandugu Porang memiliki Suara yang Bagus sehingga kalau bernyanyi sangat indah suaranya dan pandai membuat puisi dan membaca puisi pantun. Ketika Nai Mandugu Porang pergi bermain dengan Hewan-hewan yang disenanginya dan dia sering ditemani oleh hewan peliharaan kerajaan yaitu harimau, dia juga bermain ke Sungai-sungai dan Hutan, disanalah dia bisa membuat Puisi dan Pantun yang indah. Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) memiliki sifat Pemberani, karena Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) ditempa dari situasi kerajaan karena saat itu kerajaan sering memperluas wilayah sehingga sering ayah dan ibotonya pergi berperang. Kehidupannya melalui proses keadaan situasi keluarga saat itu. Artinya hidupnya ditempa situasi seperti sering ditinggal, sering diledekin dan dicandain oleh pihak keluarga atau saudaranya yang laki-laki karena hobbynya seperti kebiasaan anak lelaki dan mendapat tekanan, diremehkan. Sehingga membentuk pribadi wanita yang tangguh, sabar, tabah dan kuat bathinnya serta menjadi tegar menghadapi kehidupan karena sudah mengalami tempaan keadaan keluarga dalam kehidupannya.
Suatu saat pernah dia melihat ayahnya berselisih soal jawab dengan pihak lain seorang Bangsawan Asahan diluar kerajaan, pada saat berkunjung ke wilayah pesisir di sekitar Asahan untuk membeli persediaan makanan dan ikan dari laut. Ketika perselisihan dan soal jawab tentang harga telah usai, saat mereka berbalik hendak pulang dan ketika itu dia menoleh kebelakang, kemudian dia melihat orang itu sedang mengejek ayahnya dari belakang, maka seketika itu emosinya memuncak dan marah sambil mengambil pedang bapaknya lalu meletakkan pedang ayahnya ke leher orang tersebut. Saat itu juga ayahnya melihat bahwa pedangnya sudah mendarat di leher orang itu, ujung pedang itu ditunjuk kearah leher yang mengejek ayahnya tinggal memenggal atau menikamkan ke leher orang tersebut. Kemudian ayahnya beserta ibotonya kaget sambil berteriak dan mengatakan jangan kau apakan dia, kenapa kamu marah. Nai Mandugu Porang menjawab karena aku tadi melihat dia mengejek dari belakang. Maka disitulah ayahnya mengetahui bahwa borunya ini tidak senang kalau ayahnya diejek oleh orang lain. Secara diam-diam ayahnya kagum dengan Nai Mandugu Porang walaupun tidak diucapkan. Ayahnya merasa bangga punya boru yang masih menjaga marwah ayahnya dan keluarga. Lalu ayahnya mengajak pulang dan mengatakan tidak ada gunanya kamu bunuh dia karena dia itu bukan sekelas kita, ayo kita pulang. Pada saat itu mereka sedang berkunjung ke wilayah daerah yang pada saat ini disebut wilayah Asahan.
Selain itu kebiasaan Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) ini adalah suka mencurahkan isi hatinya ke hewan-hewan peliharaannya dan tumbuhan di hutan seperti bunga dan lainnya karena dia memiliki indera keenam bisa berbahasa bathin dengan hewan dan tumbuhan. Dia juga menjadikan hewan dan tumbuhan tempat curhatnya, bukan curhat kepada pengasuhnya atau orang tuanya dan saudaranya. Sehingga menguatkan bathinnya yang menimbulkan jiwa pengiba dan kasih sayang dalam dirinya, bahkan terkadang dia bisa mengetahui apa yang akan terjadi dikeluarganya ataupun kepada orang lain karena memiliki insting yang sangat kuat menyebabkan karakternya berbeda dengan saudara-saudaranya. Dia hobby melihat latihan berperang dan dia juga hobby melihat Suhu/ Guru Silat di kerajaan Panai dan diam-diam mempelajarinya serta mempraktekkan ketika dia pergi kehutan di tempat yang sepi. Nai Mandugu Porang juga mempelajari aksara Batak Angkola dan Tulisan Pallawa serta ilmu Perbintangan yang menyebabkan Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) memiliki kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang tinggi karena dia senang mengamati sesuatu, karena rasa ingin tahunya sangat tinggi terhadap sesuatu hal. Dia juga senang bermain di sekitar Danau Tao dan Danau Tasik yang ada di wilayah Kerajaan orang tuanya sambil melihat hewan yang mandi di danau tersebut. Dia juga senang bermain di sekitaran sungai dan gua alami yang ada tidak jauh dari wilayah Kerajaan Panai yang selalu ditemani oleh pembantu/ selir kerajaan yang khusus diberikan oleh Ayahnya untuk menemaninya jika bepergian untuk bermain. Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) dari sejak lahir sudah menampakkan kecantikan seorang puteri. Dia memiliki rambut ikal yang panjang dan lebat berwarna hitam dan dia tidak diperbolehkan keluar dari wilayah diluar kerajaannya kecuali didampingi oleh keluarganya atau ayahnya atau saudara-saudara kandungnya atau pembantu/ selir kerajaan. Dia tidak diperbolehkan bergaul dengan oang sembarangan, tapi dia sering menyamar sebagai rakyat biasa untuk bisa pergi, terkadang wajahnya agak di coret dengan arang agar tidak kelihatan sebagai putri Kerajaan. Berita tentang kecantikannya sampai tersohor keseluruh kerajaan lainnya, tapi dia tidak diperbolehkan dikenal dengan orang biasa bahkan di kalangan bangsawan juga banyak yang tidak mengenal dia, karena dia lebih suka menyendiri dan tetapi dia suka bergaul dengan caranya sendiri dan jika dia bergaul dengan orang sering menyamar menjadi rakyat biasa, bahkan sering menyamar jadi laki-laki supaya orang yang di luar kerajaan tidak mengganggunya. Nai Mandugu Porang juga terkenal dengan jiwa sosialnya, tetapi jika dia menolong orang lain selalu menutupi wajahnya agar tidak di kenal oleh rakyat biasa, yang mengenalnya hanyalah orang-orang dalam Kerajaan Panai ataupun tamu-tamu khusus Raja Panai yang datang dari luar kerajaaan seperti Bangsawan-Bangsawan Asing dan Tamu Kerajaan yang lain. Nai mandugu porang jika menyamar jadi Rakyat biasa ataupun menyamar menjadi laki-laki agar dapat berkunjung ke masyarakat biasa, disaat itu dia sering menyanggul rambutnya dan menutup kepalanya yang ditutupnya dengan kain.
Namora/ Inanta Soripada Sutan Soduguron Hasibuan: Bagaimana kisah pertemuan dan pernikahan antara Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) dengan Putra Raja Namora Sende Hasibuan yang bernama Ompu Soduguron Hasibuan di kisah Kerajaan Panai dek?
Ratu Dangsina Nai Huala Boru Harahap : Pernikahaan antara Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) dengan putra Guru Marjalang/ Manjalang Hasibuan atau nama lainnya Namora Sende Hasibuan yang bernama Ompu Soduguron Hasibuan di kisah Pusat Kerajaan Panai memiliki sejarah yang akan terus diingat oleh orang Tapanuli Bagian Selatan yang saat ini sudah menjadi 5 kabupaten dan kota karena ada ucapan khusus dari Guru Marjalang Hasibuan atau Namora Sende Hasibuan kepada Menantu kesayangannya itu yang bernama Rumondang Harahap yaitu Parumaen yang beriringan waktu menjadi Barumaen kemudian menjadi kata Barumun yang merupakan asal usul nama Sungai Barumun yang tidak jauh dari sungai Batang Panai yang sekarang disebut Batang Pane yang merupakan salah satu bukti keberadaan Kerajaan Panai di daerah tersebut. Ucapan itu disebabkan karena senang dan sayangnya Guru Marjalang Hasibuan/ Namora Sende Hasibuan memiliki menantu yang menjadi Simbol Perdamaian antara Raja Panai dengan Guru Marjalang Hasibuan (Mahapatih Jalang) atau Namora Sende Hasibuan yang berperang. Hal ini juga menjadi kisah dalam Laklak Parahu Laklak yang sebagai bukti sejarah Kerajaan Panai Kerajaan di wilayah Padang Lawas pada masa dulu yang terkait pada sejarah Batak Angkola.
Pada awalnya pertemuan antara Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) dengan Putra Guru Marjalang Hasibuan/ Namora Sende Hasibuan yang bernama Ompu Soduguron Hasibuan karena adanya peperangan. Mereka berdua bertempur dalam peperangan yang terjadi antara Raja Kerajaan Panai ayahnya Nai Mandugu Porang/ Rumondang Harahap (Puteri Sambilan Jogi) dengan Namora Sende Hasibuan (atau Mahapatih Jalang sebagai Mahapatih Kerajaan Sriwijaya ayahnya Ompu Soduguron Hasibuan ) dimana awalnya karena persoalan pihak Hasibuan melanggar peraturan yang sudah disepakati dengan Raja Panai pada saat mereka telah beranak cucu dan bertempat tinggal di Wilayah Kerajaan Panai seputaran Siumban, Bagan (Bagan Batu sekarang, Aek Nabara) dan Batang Onang..
Aturan yang berlaku di Kerajaan Panai tidak diperbolehkan orang luar keluar masuk bebas di wilayah Kerajaan Panai tanpa seizin Raja/Kerajaan, kecuali para Tamu-tamu Kerajaan, Tamu Para Bangsawan, Orang-Orang yang mau antar Upeti dari wilayah Kekuasaan Kerajaan Panai, atau Pedagang yang sudah punya ijin Kerajaan untuk masuk ke Kerajaan Panai. Marga Hasibuan Pada saat itu penasaran ingin masuk ke wilayah kerajaan Panai. Mereka berpikir jika mereka masuk dengan tangan kosong mereka akan dieksekusi/ dipenggal kepalanya karena seperti itulah yang mereka dengar rumornya di kerajaan Panai. Karena aturan yang ketat bahwa orang-orang luar dilarang masuk atau melewati Kerajaan Panai tanpa ijin, karena di setiap perbatasan ada benteng pertahanan yang memantau setiap orang masuk dan keluar dari wilayah Pusat kerajaan Panai. Jikalau ada orang luar hendak pergi ke wilayah Aceh yang (dulu disebut Samudera Pasai) atau pun ke wilayah Kerajaan Pagaruyung, maupun ke wilayah Barus dan Karo ataupun ke wilayah Kerajaan Sriwijaya, jika tidak ada ijin dari Kerajaan untuk melewati wilayah Kerajaan Panai, maka sebaiknya mereka melewati daerah yang bukan wilayah kekuasaan Kerajaan Panai, yaitu melewati Hutan yang banyak harimaunya atau melewati daerah pesisir dan laut, apabila tidak ingin bayar upeti, bayar pajak jalan yang dilalui ataupun tidak ingin dipenggal kepalanya. Dikarenakan Wilayah Kerajaan Panai berada di wilayah pertengahan Pulau Sumatera antara Samudra Pasai dan Kerajaan Sriwijaya (wilayah ditengah-tengah yang dulu disebut Pulau Andalas/ Mokhsa/ Pulau Sumatera), ini merupakan Jalur Strategis yang dilewati para Pedagang dari luar Kerajaan bahkan dari luar Pulau dan dari Luar Samudera Hindia. Akhirnya mereka Hasibuan berpikir cerdas, mereka datang membawa persembahan dan upeti untuk diberikan kepada Raja Panai, berupa rempah-rempah, Kemenyan, Barus, Bahan Makanan Pokok, batu-batu akik, batu intan lokal, barang tambang kuningan, perunggu, batubara, dll. Mereka juga memberikan banyak upeti dan persembahan untuk Raja Panai, sehingga para prajurit mengantarkan mereka ke Raja Panai tapi pada saat itu mereka tidak tinggal di sana, karena mereka pulang kembali kedaerahnya. Sejak itu sekali sebulan atau sekali dua bulan mereka mengantarkan persembahan dan upeti kepada Raja dan lama kelamaan mereka meminta kepada Raja agar diizinkan berdagang di wilayah pasar kerajaan Panai. Karena Raja Panai sudah merasa senang melihat mereka atas pelayanan mereka kepada Raja Panai, karena selama ini telah diberikan persembahan dan upeti, akhirnya Raja Panai memperbolehkan mereka masuk untuk berdagang di Kerajaan Panai dengan syarat membayar pajak dan mengikuti aturan adat dan budaya kerajaan Panai. Mereka tidak dibolehkan membawa adat dan budaya dari kampungnya dan tidak boleh menjalankan agama mereka animisme serta pagan membuat persembahan kepada Dewa yang dipercaya mereka (agama Animisme yang masih menyembah orang mati, batu, pohon, gunung, gua, tempat keramat seperti kuburan tua tidak boleh tanpa seizin kerajaan Panai) dikarenakan agama Animisme yang dibawa Hasibuan itu tidak bisa dibawa agama itu ke Kerajaan Panai karena di Kerajaan Panai saat itu agamanya Budha, Hindu dan Monoteis yang dianut oleh Masyarakat Panai dan Kerajaan Panai, mereka boleh beragama yang hanya agama yang diakui oleh Kerajaan Panai, menjalankan adat dan budaya juga harus seperti yang ada di Kerajaan Panai. Mereka hanya Marga Hasibuan menyetujui perjanjian itu dan mereka mulai berdagang disana tetapi hanya diperbolehkan tidak lebih dari 15 keluarga. Kepala dari pedagang ini adalah kakeknya Marjalang Hasibuan. Selanjutnya lama kelamaan semakin banyaklah marga Hasibuan lain yang berdagang ke kerajaan Panai karena mereka sudah merasa bersahabat dengan Para pedagang kerajaan Panai. Bahkan setelah kurun waktu yang lama kurang lebih hampir 100 s/d 150 Tahun berlalu banyak keturunan Hasibuan Marga lain seperti Hutabarat, Hutagalung, Panggabeaan, Hutatoruan, Tobing, yang ikut berdagang, karena mereka berbeda marga dengan Hasibuan, lalu mereka takut ketahuan oleh Prajurit-Prajurit Panai, maka untuk memuluskan perjalanan mereka agar bisa masuk ke kerajaan Panai mereka mengganti marga mereka menjadi Hasibuan, dikarenakan Hasibuan itu adalah ompung mereka, supaya bisa bebas masuk dan berdagang ke Kerajaan Panai. Maka sebahagian dari mereka dibuat Hasibuan bertempat di Siumban dan sekitarnya. Bahkan sebahagian untuk melanjutkan perjalanan perdagangan mereka di buat bertempat di wilayah Tapian Nauli Barus/ Sibolga sekarang/ Tapteng atau Tapanuli Tengah sekarang).
3. Candi Bahal Portibi salah satu Peninggalan Kerajaan Panai/ Padang Lawas yang terletak di Desa Bahal Kecamatan Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara (PALUTA) Propinsi Sumatera Utara.
Beberapa tahun kemudian setelah berhasil untuk masuk berdagang ke wilayah Kerajaan Panai, kakek Marjalang Hasibuan memohon kepada Raja Panai untuk dapat memiliki tempat untuk singgah berteduh atau bermalam dikarenakan barang mereka sudah banyak untuk diperdagangkan, karena itu mereka membutuhkan waktu untuk menjual barang dagangan tersebut di pasar kerajaan Panai. Awalnya diberikan Raja Panai tempat persinggahan mereka yang diberikan adalah wilayah Siumban/ Mangumban (sekarang Simangumban) yang barangnya dagangan dihasilkan dari Hutan, juga dari pesisir barat yaitu Barus dan apabila barang datang dari daerah pesisir timur, mereka diberi tempat singgah di Bagan, yang sekarang sekitaran Bagan Batu, Langga Payung, Kota Pinang, Aek Nabara tetapi karena terlalu jauh untuk mengangkat barang-barang ini ke wilayah Padanglawas Batang Onang maka mereka meminta wilayah tempat teduh tidak jauh dari Batang Onang, sebab wilayah ini tidak jauh dari Pusat Perdagangan Besar Kerajaan Panai, tidak jauh jika mengambil barang dari kampung Mandaheling (Mandailing) serta berjualan kesana, supaya dekat menuju Kampung Pagaruyung, makanya diberikanlah seputaran bukit Danau Tasik, (Saat ini sekarang sudah daerah hutan karena sudah ditinggalkan, sekitar 500 meter dari Danau Tasik), karena wilayah tersebut tidak jauh menuju Pusat Perdagangan besar Kerajaan Panai di wilayah disebut Padang Bolak dan Binanga sekarang. Mereka terkadang berdagang melalui darat, apabila musim Harimau beranak, mereka tidak berani melalui darat, maka mereka berdagang lebih sering berperahu dari Sungai Batang Onang terus ke Sungai/ Aek Sihapas, lalu mereka berdagang di seputaran pinggiran sungai jika bertemu desa-desa, lalu berperahu menuju kearah candi di Padang Bolak yang sungainya nanti bertemu dengan sungai Panai, terkadang mereka berjalan melalui darat, apabila sungai sedang meluap. Sungai Aek Siapas menuju ke Aek Binanga wilayah Barumun Tengah sekarang Palas. Selanjutnya air itu bertemu dengan Sungai Batang Pane/ Panai, kemudian sungai tersebut menuju ke Aek Nabara (wilayah Bagan Batu sekarang) dan Sungai Berombang (Daerah Labuhan Bilik) dan selanjutnya jatuhnya ke laut Pantai Timur dekat Tanjung Balai. Kalau berdagang kearah kampung Mandaheling/ Mandailing, mereka berperahu melalui sungai Batang Angkola menuju Sungai Batang Gadis di kampung Mandaheling/ Mandailing. Jika mereka berdagang dan mengumpulkan bahan rempah-rempah dan obat-obatan tradisional beserta bahan dagangan lainnya terkadang mereka melalui darat untuk menjumpai para penjual yaitu di desa-desa yang dilalui antara lain : dari daerah Siumban (Simangumban) dikumpulkan barang dagangan dibawa melalui darat ke Sipagimbar/ Daerah Sipirok (Tapanuli Selatan sekarang). Dari Sipagimbar mereka membeli barang dagangan langsung dari masyarakat desa beserta dari desa sekitarnya, lalu membawanya ke kampung Mandalasena/ Tapanuli Selatan sekarang. (Ceritanya Perumnas Mandala di Medan atupun Kampung Mandala di Medan itu adalah pendirinya orang-orang yang berasal dari Sipirok dari Mndalasena, makanya disebutlah kata Mandala untuk daerah Perumnas Mandala di kota Medan). Setelah di Mandalasena mereka marga Hasibuan ini beristirahat dan bersembahyang di sana karena disitu ada Candi kecil (di seputaran Sipirok Dolok Hole dan Aek Bilah sekarang dulunya ada beberapa candi sebelum di hancurkan di zaman Perang Paderi dan di hancurkan oleh zaman, dan masyarakat pendatang, karena ketidaktahuan mereka akan pentingnya situs-situs disana dan prasasti disana). Disini juga mereka mengumpulkan barang-barang dagangan yang dijual oleh masyarakat setempat. Selanjutnya dari sana mereka menuju ke desa Sipiongot, disini mereka juga mengumpulkan barang-barang dagangan yang dijual oeh masyarakat, sebahagian pihak Hasibuan ada yang langsung menuju ke Batang Onang dan ada yang menuju ke Daerah Bagan (Bagan Batu, Aek Nabara dan sekitarnya). Disana mereka bertemu dengan teman-teman mereka yang berdagang melalui sungai, untuk membawa barang dagangan yang lain supaya dibarter kepada masyarakat setempat berupa rempah-rempah, obat-obat tradisional, bahan makanan pokok, barang tambang seperti batu bara untuk bahan bakar memasak, kemudian emas, perak dan lainnya.
Saat itu kerajaan Panai memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas karena memiliki beberapa anak kerajaan. Anak kerajaan Panai yaitu kerajaan kecil di daerah Tanjung Balai Asahan, di daerah Simalungun, di daerah Melayu Daerah Rokan/ Kampar, Minangkabau, wilayah Barus. Adapun Kerajaan Kecil ini berdiri dikarenakan anak Perempuannya menikah dengan turunan raja-raja lokal disana.
Akhirnya lama-kelamaan mereka marga Hasibuan itu semakin banyak di Siumban, di Bagan dan di Batang Onang, dan menjadi kampung mereka disana. Dua tempat kampung untuk pelangsiran barang, satu kampung untuk tempat peristirahatan sebelum berdagang ke pasar perdagangan wilayah Kerajaan Panai, sehingga lama kelamaan beranak cuculah mereka disana dan tetap membayarkan upeti kepada Raja Panai.
Sebelumnya oleh karena Raja memperbolehkan mereka berkampung di kampung yang di tempati mereka itu apabila mereka bersedia menjadi tukang angkut barang Bangsawan kerajaan Panai menuju kerajaan Sriwijaya. Dimulailah kakek Marjalang Hasibuan dan bapaknya mengikut Bangsawan kerajaan Panai serta mengikut Pegawai-pegawai Kerajaan Panai yang ditugaskan Raja Panai menjualkan barang hasil bumi wilayah Kerajaan Panai untuk menjadi tukang angkut barang dagangan Kerajaan Panai dan Bangsawan Panai yang berdagang ke kerajaan Sriwijaya, karena mereka memiliki badan yang kuat. Sampai disana mereka melihat pasar perdagangan yang sangat besar, lebih besar sedikit dari pasar perdagangannya di Kerajaan Panai dan banyak orang dari berbagai ras disitu, terkadang mereka melihat ras orang-orang dari luar pulau sumatera seperti ras dari berkulit merah/putih (Eropa Timur, Oman, Arab/ Arabia, Turki/ Irak serta India Khasmir), sawo matang (Jawa), ras hitam (kurang tau datangnya dari mana tetapi sebahagian datangnya dari Sulawesi (Ambon Minahasa/ Makasar, Bugis). Dan ada dari India Tamil, mereka lebih banyak dijadikan budak, ada perempuannya dijadikan wanita penghibur, ketimbang jadi pedagang) dan ras kuning (kemungkinan dari Sri langka, Kamboja, Laos, Burma, Philipine, Yunan, Thailand, Bangkok/ Cina Tiongkok, Korea, Taiwan, Celine, dll dan banyak juga mereka ini perempuannya sebagai wanita penghibur dan mereka ini banyak tinggal di wilayah pesisir Kerajaan Sriwijaya) bahkan ada orang-orang Sulawesi, Ternate, Bugis dan Kutai juga ada datang sebagai pedagang dan pembeli disana, tidak jauh beda dengan pedagang yang datang ke Kerajaan Panai. Hanya Wanita-Wanita penghibur dilarang keras masuk ke Kerajaan Panai dikarenakan adat budayanya sangat kental untuk menjaga adab, etika dan moral yang disebut DALIHAN NATOLU/ 3 Tungku Masak yang terikat satu sama lain yaitu KAHANGGI, MORA DAN ANAKBORU/ PISANG RAUT. Jika ada ketahuan masuk dan melakukan praktek wanita penghibur, akan di hukum mati oleh Pegawai Kerajaan atas perintah Raja Panai sesuai peraturan adat istiadat dan budaya di Kerjaan Panai. Sedangkan jika ada ketahuan menikah antar sesama marga atau sesama saudara kandung, akan di hukum secara adat dan diusir jauh keluar dari kerajaan Panai. Apabila ada juga orang ketahuan melakukan perbuatan cela dengan sex menyimpang, maka akan dihukum mati dan di penggal kepalanya di depan semua masyarakat, sebelum di penggal akan dipermalukan, agar tidak terulang perbuatan cela tersebut di wilayah kerajaan. Itulah sedikit perbedaan kebiasaan Kerajaan Panai dan Kerajaan Sriwijaya yang berhubungan dengan adab, adat istiadat, budaya mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Bahkan kerajaan Panai merupakan wilayah sekolah untuk pendidikan dari agama Budha dan agama Hindu dikarenakan ketatnya peraturan kerajan Panai. Tetapi Perdagangan dari bahan makanan Pokok, Buah-Buahan, Alat-Alat dapur yang terbuat dari tanah liat, dari daun yang di hutan, dari rotan, dari bamboo/ buluh/ bambu, rempah-rempah termasuk rempah untuk bumbu dapur, obat-obatan herbal dari rempah-rempah dan herbal daun-daun alami yang digunakan untuk obat-obatan, jauh lebih banyak jenis dan macamnya di jual di pasar perdagangan Kerajaan Panai ketimbang di Pasar perdagangan Kerajaan Sriwijaya. Adalagi di jual Batu Mulia dan Logam Mulia seperti emas, perak, intan lokal, berlian lokal, bahan tambang seperti batubara dan lain-lain, juga batu-batu akik serta mutiara dari kerang laut, mutiara dari kerang yang habitatnya di lumpur atau di rawa-rawa seperti lohan/ lokan, dan perhiasan dari manik-manik, perhiasan dari kerang-kerang laut serta kerang yang hidup di rawa-rawa, dan lain-lain.
Banyak sekali dijual Bahan Kain untuk dipakai terbuat dari bahan kapas/benang kapas, dari kulit binatang, kulit kayu, yang dibuat jadi pakaian, tas dan lembaran untuk tulisan aksara Batak Angkola dan aksara Pallawa di kulit binatang, di kulit kayu, di tulang binatang dan di kayu dari kayu pohon tertentu (yang disebut Porhalaan/ Naskah Kuno). Tenunan kain sarung, ulos juga sangat banyak di bawa dijual kesana untuk dipakai sebagai kain baju oleh bangsawan-bangsawan Kerajaan Sriwijaya dan orang-orang yang berada dalam lingkungan Kerajaan Sriwijaya (Yang akhirnya lama kelamaan saduran ulosnya menjadi SONGKET Palembang dan SONGKET Melayu/ Tenunan Melayu, dan sarungnya juga saduran dari sarung buatan Kerajaan Panai). Sementara Ulos Raja Angkola tidak dijual karena itu hanya khusus di tenun dipakai untuk upacara kerajaan serta upacara adat budaya Batak Angkola saja ataupun ulos Raja Angkola dipakai untuk menyambut tamu dan terkadang dihadiahkan kepada tamu Raja ataupun Raja dari Kerajaan lain. Makanya Kain Sarung dan Ulos Raja Angkola itu sangat mahal harganya karena terbuat khusus dari benang halus yang asalnya dari India, Cina, Rusia/ Eropa Timur, Maroko, Persia (Turki sekarang) ada juga berasal dari benang lokal dibuat sendiri oleh Kerajaan Panai dari kapas pilihan yang sangat bagus, dibuat warna putih, merah, hitam, kuning, coklat dan biru. Bahkan ada Ulos Angkola yang terbuat dari benang warna emas, benang warna perak (yang khusus untuk buat kain sarung, ulos Raja dan kain gendongan anak Raja ataupun Bangsawan). Begitu juga benang sutera emas yang warnanya emas bahkan ada dari benang sutera diberi warna perak, putih, merah ,kuning, hitam, coklat, dan biru yang dibeli dari pasar perdagangan di Kerajaan Sriwijaya untuk membuat Kain Sarung/ Kain Pakaian dan Ulos Angkola. Barang-barang yang disebut dan dijelaskan diatas yang banyak diperjualkan oleh Bangsawan/ Pedagang/ Pegawai suruhan Raja untuk berdagang ke Kerajaan Sriwijaya.
Sementara Pasar Perdagangan Kerajaan Sriwijaya lebih banyak menjual kain-kain, benang, bahan makanan pokok, Alat-alat dapur dari tanah liat, Keramik, daun-daun yang dari tumbuhan di hutan untuk obat tradisional untuk bahan kecantikan, dan perhiasan manik-manik, batu mulia, logam mulia, perhiasan rumah dari keramik, alat-alat dapur dari keramik, sebahagian rempah-rempah di wilayah Kerajaan Sriwijaya diperoleh diseputaran wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya (yang disebut sekarang wilayah Kerinci dan Jambi, Lahat, Palembang, Bengkulu, Lampung). Begitulah cerita kakek dan bapak Marjalang Hasibuan kepada keluarganya yang didengar oleh Marjalang Hasibuan sehingga lama-kelamaan ia ingin berminat kesana untuk melihat perdagangan dan wilayah Kerajaan Sriwijaya. Tapi dia tidak diperbolehkan ikut karena dia masih kecil.
Ketika Marjalang Hasibuan berumur 8 tahun, karena rasa penasarannya tentang cerita kerajaan Sriwijaya ini, disebabkan dia dilarang kakek dan ayahnya untuk ikut bersama pedagang, maka secara diam-diam dia bersembunyi di barang-barang Bangsawan Kerajaan Panai. Sementara itu dia tidak diketahui kakeknya, ayahnya dan bangsawan tersebut ikut dalam perjalanan mereka dikarenakan dia sembunyi di salah satu peti tempat barang yang akan diperdagangkan. Pada saat sudah sampai di pinggiran kerajaan Sriwijaya ketahuanlah dia bersembunyi di dalam Peti barang dagangan tersebut karena ayahnya curiga disebabkan makanan yang dibawa berkurang, ternyata dimakan oleh Marjalang Hasibuan. Akhirnya ketahuan dan di beritahukan bangsawan kepada prajurit kerajaan panai yang juga ikut mengawal. Lalu si pedagang bangsawan-bangsawan itu marah kepada kakek dan ayah Marjalang Hasibuan sekaligus memarahi Marjalang Hasibuan. Kemudian para pedagang bangsawan ini menghukum Marjalang Hasibuan karena memakan stok makanan yang menjadi bekal mereka selama perjalanan, sehingga menyuruh Marjalang Hasibuan untuk pulang sendiri ke kampungnya tanpa ditemani oleh siapapun.
Ayah Marjalang Hasibuan merasa bersalah akibat perbuatan anaknya tersebut. kemudian ayah Marjalang Hasibuan menyembah kepada Pedagang Bangsawan dan Prajurit Kerajaan Panai, agar Marjalang Hasibuan tidak disuruh pulang sendirian karena ayahnya takut terjadi sesuatu pada anaknya di jalan. Pedagang bangsawan tersebut mengatakan kalau begitu nyawa anakmu adalah milik saya, kemanapun saya pergi maka dia harus ikut membawa barang saya. Ayah Marjalang Hasibuan pun pasrah dan menyetujui permintaan dari pedagang bangsawan tersebut asal anaknya tidak pulang sendirian agar tidak mati di tengah jalan karena disuruh pulang sebagai hukuman dari Pedagang Bangsawan dan Prajurit Kerajaan Panai.
Sejak itu apabila Pedagang Bangsawan dari pihak Pegawai Kerajaan Panai pergi berdagang maka Marjalang Hasibuan ikut sehingga membentuk badannya menjadi kekar dan kuat. Kadang-kadang mereka membawa barang-barang dagangan Sriwijaya ke Kerajaan Panai untuk diperjual belikan kembali di kerajaan Panai. Bangsawan-bangsawan kerajaan Panai menggunakan keluarga Hasibuan menjadi kaki tangan untuk menjualkan barang dagangan yang dibawa dari Kerajaan Sriwijaya. Mereka mendapat upah dan membayar pajak dari upah yang diperoleh. Diluar itu mereka punya barang dagangan sendiri yang berasal dari wilayah Tapian Nauli, Wilayah Dangsina.
Karena sudah banyak marga Hasibuan mengetahui keadaan perdagangan di kerajaan Sriwijaya maka mulailah beberapa keturunan Hasibuan membawa perempuan dari masyarakat di Sriwijaya ke kerajaan Panai untuk dinikahi dan dijadikan isteri mereka.
Adapun barang-barang yang diperdagangkan dari Kerajaan Sriwijaya adalah berbentuk benang, kain, pengharum, keramik, alat dapur dari keramik, perhiasan manik-manik dan lainnya, sedangkan barang yang dari Kerajaan Panai berupa kemenyan, kapur barus, rempah-rempah, makanan pokok, emas, perak, batu akik, batu permata, batu bara untuk membakar dan memasak serta lainnya (sebagaimana telah dijelaskan cerita diatas).
Marjalang Hasibuan pada umur 13 tahun dilihat para bangsawan kerajaan Panai bahwa badan dari Marjalang Hasibuan sangat kekar dan kuat karena sejak umur 8 tahun sering memanggul barang-barang dagangan dari kerajaan Panai ke kerajaan Sriwijaya begitu juga sebaliknya. Kemudian pedagang bangsawan kerajaan Panai saat berada di kerajaan Sriwijaya tertarik untuk berjudi sabung dalam bahasa Angkola manyabung yaitu mengadu dua manusia sampai siapa yang hidup dialah sebagai pemenang atau salah satu harus mati. Pedagang bangsawan menjadikan Marjalang Hasibuan sebagai orang yang dijadikan taruhan judinya untuk mengikuti pertandingan sabungnya di pasar perdagangan Sriwijaya. Saat itu Si Marjalang Hasibuan menang dan lawannya mati. Akhirnya diberikanlah dia makanan enak seperti daging, susu dan lainnya makanan yang bergizi untuk lebih menguatkan tubuhnya jika dia dijadikan sebagai aktor sabung untuk dijudikan. Sejak saat itu setiap mereka pergi ke Sriwijaya dia selalu disuruh berkelahi dengan budak-budak dari bangsawan Sriwijaya dan dia selalu menang. Tuan dari Marjalang Hasibuan yaitu bangsawan yang memilikinya dan bangsawan lainnya, jika Marjalang Hasibuan menang dalam perjudian itu akan memberikan hadiah kain yang biasa dijadikan bahan baju yang bagus yang kemudian hadiah itu diberikan kepada ibunya. Hal ini sering dilakukan Marjalang Hasibuan memberikan hadiah tersebut kepada ibunya sehingga keluarganya sudah terbiasa memakai pakaian yang layak/ bagus/ pakaian yang indah.
Suatu saat Marjalang Hasibuan ini dilihat oleh anggota bangsawan kerajaan Sriwijaya, dimana teknik berkelahinya sangat bagus sehingga bisa selalu menang dalam pertandingan, sekalipun dia tahu bahwa sebenarnya dia dibuat untuk perjudian. Maka diminta anggota bangsawan kerajaan Sriwijaya itulah agar dia dijual oleh bangsawan kerajaan Panai. Saat itu si bangsawan kerajaan Panai ini tidak mau menjual Marjalang Hasibuan kepada bangsawan kerajaan Sriwijaya karena dia merasa sudah menyayangi Marjalang Hasibuan.
Namun pada akhirnya anggota bangsawan kerajaan Sriwijaya ini membuat harga tinggi untuk membeli Marjalang Hasibuan. Sehingga tergodalah bangsawan kerajaan Panai untuk menjual Marjalang Hasibuan kepada bangsawan kerajaan Sriwijaya karena harganya tinggi. Kemudian Marjalang Hasibuan meminta kepada bangsawan kerajaan Sriwijaya untuk menulis surat agar disampaikan kepada ibunya bahwa dia sudah dibeli menjadi budak anggota kerajaan Sriwijaya jangan dikhawatirkan memang keinginannya untuk tinggal di sini (di kerajaan Sriwijaya). Surat itu diserahkan ke bangsawan kerajaan Panai namun tidak pernah diberikan kepada keluarganya, ketika ayahnya bertanya dikatakan dia sudah dijual.
Suatu saat ayahnya ikut memanggul barang ke kerajaan Sriwijaya dan mencari anaknya dan tidak pernah ketemu, bahkan ayahnya bertanya kepada bangsawan-bangsawan kerajaan Sriwijaya mereka mengaku tidak pernah mengenal orang yang seperti dimaksud ayahnya tersebut. Dianggaplah oleh ayah dan keluarga Marjalang Hasibuan bahwa dia sudah hilang ataupun mati dikarenakan mereka mengetahui bahwa Marjalang Hasibuan ini sering dibuat berkelahi sabung nyawa untuk dijudikan. Pemikiran keluarga Marjalang Hasibuan kemungkinan Marjalang Hasibuan telah mati dianggap mereka karena ikut dijadikan perjudian sabung nyawa tersebut. Akhirnya ayahnya memberitahukan kepada keluarganya bahwa Marjalang Hasibuan dianggap sudah tidak ditemukan atau mati. Mereka semuapun menjadi berduka dan dibuatlah di dalam cerita keluarga mereka sampai ke kampung mereka berasal bahwa Marjalang Hasibuan telah Hilang dan di anggap telah meninggal dunia.
4. Makam Raja Oppu Namora Sende Hasibuan di Desa Purba Tua Kecamatan Batang Onang Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) yang merupakan Ayah dari Raja Ompu Soduguron Hasibuan dan juga merupakan Mertua dari Nai Mandugu Porang Harahap
5. Makam Raja Ompu Sodoguron Hasibuan bersama isterinya Nai Mandugu Porang Harahap /Rumondang Harahap/Puteri Sambilan Jogi Harahap di Desa Sabahotang Kecamatan Barumun Baru Kabupaten Padang lawas Propinsi Sumatera Utara.
Bersambung…..
Penulis : Dua Puteri Kerajaan Panai (Padang Lawas)
Ditulis oleh ; Dr. Tuti Khairani Harahap, S.Sos, M.Si : Hp : 081259454062